TEKNIK KONVERSI KOPI ROBUSTA
KE ARABIKA PADA LAHAN YANG SESUAI
Benih menjadi pintu gerbang (entry point) utama suatu kehidupan,
termasuk bagi kehidupan tanaman. Perannya menjadi lebih strategis bagi tanaman
perkebunan yang berumur panjang dan sifat usahanya tahunan. Kesalahan penanaman
akibat penggunaan benih yang tidak unggul, akibatnya akan dirasakan selama
puluhan tahun. Produktivitas tanaman rendah, masa pengembalian investasi sangat
lambat, dan tingkat keuntungan usaha menjadi lebih rendah. Padahal tiga kriteria tersebut menjadi
pertimbangan utama bagi usaha di bidang perkebunan, selain aspek sosial dan
lingkungan.
Produksi kopi Indonesia pada 2011 mencapai 709.000 ton dari areal seluas
1,3 juta hektar, dimana sebanyak 68% dari total produksi tersebut diekspor
keluar negeri, sehingga kopi merupakan salah satu komoditi andalan perkebunan
yang mempunyai peran sebagai penghasil devisa negara. Dari luasan 1,3 juta
hektar tersebut, seluas 1,01 juta hektar (77,69%) merupakan pertanaman
kopi robusta, sedangkan seluas 290.000 hektar (22,31%) merupakan pertanaman
kopi arabika.
Dengan komposisi luasan pertanaman kopi seperti itu, produk kopi
Indonesia terkendala dalam persaingan di pasar internasional, mengingat
fenomena 70% konsumsi kopi dunia dikuasai kopi jenis arabika, adapun sisanya
30% merupakan konsumsi kopi jenis robusta. Disamping itu kopi arabika mempunyai
harga jual yang lebih tinggi daripada kopi robusta, maka untuk meningkatkan
nilai pendapatan devisa maupun meningkatkan daya saing kopi Indonesia di pasar
internasional adalah dengan jalan meningkatkan proporsi produksi kopi arabika.
Salah satu alternatif untuk meningkatkan produksi kopi arabika adalah
dengan cara ektensifikasi. Tetapi dikarenakan cara ekstensifikasi pada
lahan-lahan baru sulit dilakukan, mengingat kopi jenis ini hanya dapat tumbuh
dan berproduksi optimal di dataran tinggi dengan kisaran 1.000 meter dari
permukaan laut, sedangkan lahan seperti itu di Indonesia umumnya merupakan
lahan kehutanan yang tidak bisa dialihfungsikan menjadi lahan perkebunan, maka
cara ekstensifikasi yang paling memungkinkan untuk dilakukan adalah dengan
melakukan konversi kopi robusta ke arabika pada lahan-lahan yang sesuai.
Data yang dirilis Ditjenbun (2012) menunjukkan bahwa sebanyak ± 60% dari
luasan perkebunan kopi di Indonesia saat ini telah berumur diatas 25 tahun yang
sudah kurang produktif, sehingga sudah saatnya dilakukan rehabilitasi
peremajaan. Dimana pada pertanaman kopi yang perlu direhabilitasi tersebut
didominasi oleh pertanaman kopi robusta, maka rehabilitasi pada lahan-lahan
yang sesuai untuk budidaya kopi arabika dapat dilakukan dengan cara konversi
kopi robusta menjadi kopi arabika, dikarenakan banyak petani pada umumnya masih
mengusahakan tanaman kopi secara bercampur antara kopi arabika dan robusta pada
lahan-lahan yang sesuai untuk budidaya kopi arabika. Seperti halnya yang
terjadi di pertanaman kopi rakyat di Kabupaten Bangli, Propinsi Bali, dimana
sekitar 40% tanaman kopi robusta ditanam pada lahan-lahan yang sesuai untuk
budidaya kopi arabika.
Kasus penanaman kopi robusta yang dilakukan pada lahan-lahan yang sesuai
untuk kopi arabika pada pertanaman kopi rakyat di Kabupaten Bangli, tentu juga
terjadi pada pertanaman kopi rakyat di daerah lainnya di Indonesia, mengingat
bahwa sekitar 96% perkebunan kopi di Indonesia merupakan perkebunan rakyat yang
umumnya belum menerapkan teknik budidaya yang benar. Oleh karena itu,
rehabilitasi pada pertanaman kopi dengan kondisi demikian lebih tepat dilakukan
dengan cara konversi tanaman kopi robusta menjadi kopi arabika, mengingat
kondisi agroekologinya yang sesuai untuk pertumbuhan kopi arabika.
Dalam konversi tanaman kopi robusta menjadi kopi arabika dilakukan
dengan teknik sambung, dimana tanaman kopi robusta berlaku sebagai batang
bawah, adapun batang atas adalah kopi arabika varietas unggul. Pelaksanaan
teknik sambungan di lapangan dilakukan dengan menggunakan metode
siwingan, yaitu dengan memangkas separuh bagian tajuk kopi robusta diatas
sambungan. Metode ini selain dapat mendorong pertumbuhan sambungan lebih sehat,
juga masih dapat diperoleh hasil panen dari kopi robusta hingga 55%. Dengan
metode konversi ini juga mudah dilakukan penggantian jenis klon batang atas
bila didapatkan klon-klon baru yang lebih unggul pada masa yang akan datang.
Dari hasil penelitian yang dilakukan Rubiyo dan Suharyanto (2007)
mengenai konversi kopi robusta menjadi kopi arabika pada perkebunan kopi rakyat
di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Propinsi Bali, mendapatkan bahwa:
1.
Penerapan
teknologi rehabilitasi konversi kopi robusta menjadi kopi arabika dengan teknik
sambung memberikan dampak perubahan tidak saja pada aspek produksi dan
pendapatan petani, tetapi juga memberikan dampak pada struktur biaya usahatani
termasuk struktur tenaga kerja.
2.
Penerapan
teknologi telah meningkatkan biaya input usahatani hingga 69,93%, adapun
terhadap produktivitas usahatani peningkatannya
lebih rendah yaitu 59,17%.
Walaupun demikian pendapatan usahatani meningkat sekitar 142,54% dikarenakan
faktor harga output yang kondusif, dimana harga kopi arabika jauh lebih mahal
dibandingkan kopi robusta.
Selain di Propinsi Bali, teknik rehabilitasi konversi ini telah
diterapkan pada perkebunan kopi rakyat di Propinsi Aceh, Lampung dan Nusa
Tenggara Timur, diharapkan kedepan penerapan teknik ini dapat juga
menjangkau perkebunan-perkebunan kopi rakyat di propinsi lain, sehingga lambat
laun dapat meningkatkan proporsi luasan maupun produksi kopi arabika di
Indonesia. Seperti diketahui dari empat negara produsen utama kopi dunia,
dimana Indonesia berada di urutan keempat produsen terbesar setelah
Brasil, Vietnam, dan Kolombia, selama ini hanya Indonesia dan Vietnam yang
dominan menghasilkan kopi robusta, adapun produksi kopi Brazil didominasi oleh
kopi arabika yang mencapai 76%, bahkan produksi kopi arabika Kolumbia mencapai
98%, bandingkan dengan Indonesia yang pada tahun 2011 hanya memproduksi kopi
arabika sebanyak 22%.
Walaupun produksi kopi arabika Vietnam pada tahun 2011 masih sekitar 5%,
tetapi saat ini Vietnam telah melakukan program yang agresif dan terarah dalam
konversi tanaman kopi robusta ke kopi arabika, sehingga sebagai pesaing
Indonesia jangan terlena dan harus mencermati langkah Vietnam tersebut.
Dukungan pemerintah Vietnam sangat nyata bagi peningkatan areal dan
produktivitas kopi arabika, dimana selama ini keberhasilan Vietnam dalam
pengembangan kopi mendapat dukungan penuh pemerintah seperti membangun
jalan-jalan di sentra produksi kopi untuk memperlancar transfortasi hasil panen
serta pembangunan fasilitas prasarana dan sarana lainnya, yang menunjang pengembangan
kopi, begitupun peningkatan dana penelitian, penyuluhan maupun bantuan kredit
bagi petani, sehingga Vietnam yang beberapa tahun lalu sama sekali tidak
terdengar soal kopinya namun berkat dukungan pemerintahnya dengan demikian
gencar menjadikan produksi kopi Vietnam menjadi hebat, nampaknya dalam hal ini
Indonesia perlu belajar dari Negara Vietnam.
Diharapkan keberhasilan teknologi rehabilitasi konversi kopi robusta
menjadi kopi arabika dengan tanpa harus membongkar tanaman kopi robusta yang
sudah tua, dapat juga berhasil meningkatkan daya saing kopi Indonesia terutama
kopi arabika di pasar internasional, mengingat kopi arabika asal
Indonesia sudah memiliki reputasi baik di pasar internasional sebagai kopi
spesialti yang bercitarasa tinggi, yang akan berdampak positif pada peningkatan
pendapatan petani, peningkatan nilai devisa serta peningkatan perekonomian
Indonesia (Rubiyo, Bambang E.T. dan Juniaty Towaha/BALITTRI).
Sumber: Balai Penelitian Tanaman
Industri dan Penyegar (BALITTRI)
lates blog : Pagaralamese.blogspot.com
lates blog : Pagaralamese.blogspot.com
No comments:
Post a Comment