Kebijakan Pemerintah Mengatasi Kesuraman Pagar Alam Coffee
Sampai saat ini sasaran pasar komoditi kopi nasional masih mengandalkan pasar ekspor yang tersebar menuju di berbagai kota besar di negara negara maju. Hal ini dikarenakan konsumsi perkapita dan pertumbuhannya didalam negeri masih rendah sedangkan konsumsi konsumen di kota kota besar diluar negeri cukup menjanjikan. Perubahan nilai tukar dolar dalam jangka pendek akan memberikan perubahan harga kopi yang diterima pedagang dan produsen (petani) kopi. Harga di tingkat internasional, secara tidak langsung akan berpengaruh pada penerimaan petani. Pemerintah perlu meningkatkan efisiensi manajemen, meningkatkan produktivitas, mutu dan rendemen, serta mengurangi distorsi ditingkat budidaya dan pasar (Budiman, 2006).
Kota Pagar Alam telah menyiapkan diri mengintensifkan produksi budidaya kopi robusta. Dalam mewujudkan Pagar Alam menjadi kota yang berbasis agrobisnis dan pariwisata, pemerintah berupaya meningkatkan pemberdayaan ekonomi kerakyatan secara maksimal. Pemerintah sebagai fasilitator berusaha membuat alternatif alternatif untuk lebih memberdayakan masyarakat. Ketika harga kopi fluktuatif dan cenderung turun, pemerintah menyarankan supaya petani memiliki usaha alternatif lain. Pada tahun 2005, disektor perkebunan pemerintah telah mensosialisasikan diversifikasi tanaman. Pemerintah Kota memberikan bantuan bibit panili, lada, cokelat dan lain lain (Besemah Pagar Alam, 2005).
Pada tahun 2011, supaya produksi biji kopi tetap optimal Pemkot (Pemerintah Kota) kembali merencanakan pola sistem intensifikasi melalui perbanyakan teknik penyambungan. Tercatat dari 28.000 ha luas kawasan hutan lindung, terdapat 8.813 ha lahan yang berpotensi untuk pengembangan kopi teknik sambung. Daerah kecamatan Dempo Tengah seluas 14.400 merupakan sentra terbesar produksi buah kopi teknik sambung. Dari sisi produktifitas buah, kehadiran kopi sambung ini ternyata dapat menghasilkan keuntungan yang berkali lipat. Bahkan produksinya bisa mencapai 2 ton per ha sedangkan produksi buah kopi yang berasal dari perbanyakan generatif atau biji berkisar 600 sampai 700 kilogram per ha. Sebenarnya sosialisasi teknik sambung telah disosialisasikan sejak 2007, namun karena harga kopi pada 2007 sangat rendah, minat petani untuk mengintensifkan budidaya kopi mereka sangatlah kecil bahkan sebagian pejabat meragukan sistem intensifikasi ini mampu mengangakat populeritas kopi Pagar Alam. Pada 2011, ketika harga kopi mencapai Rp 10.000,00 sampai 12.500,00 per kg, teknik sambung mulai kembali diperhatikan. Sebelum diaplikasikan teknik sambung, kualitas biji kopi Pagar Alam tergolong asalan yang menyebabkan harga jual kopi ditingkat petani hampir setiap tahun berfluktuasi. Belum adanya kesepakatan soal harga di tingkat pedagang pengumpul terkait aturan petik merah ternyata menjadi kendala bagi petani kopi. Dishutbun (Dinas Kehutanan dan Perkebunan) Kota Pagar Alam bahkan telah mengadakan kegiatan bimbingan teknis dan pelatihan. Kegiatan yang diperuntukkan bagi penyuluh ini dilaksanakan mulai Mei 2011 (Besemah Pagar Alam, 2010).
Untuk meningkatkan nilai tambah kopi. Pada Juni 2009, pemerintah kota mulai membangun BLK (Balai Latihan Kerja). Melalui BLK ini, petani kopi diajarkan teknik pengolahan biji kopi menjadi produk baru atau produk turunan kopi. Petani juga dilatih untuk mampu melakukan pengemasan kopi yang baik sehingga layak jual (Besemah Pagar Alam, 2009).
Kebijakan yang telah dibuat sangat bermamfaat namun dampaknya belum terlalu dirasakan bagi petani kopi di Kota Pagar Alam. Hal ini disebabkan karena realisasi kebijakan di lapangan masih belum optimal dan minimnya program tidak sebanding dengan permaslahan petani yang sangat kompleks.
No comments:
Post a Comment