Selamat Datang di Bumi Jagad Besemah

14 July, 2012

HURUF ULU (AKSARA KAGANGA), HURUF LELUHUR BESEMAH PAGARALAM


HURUF ULU (AKSARA KAGANGA), HURUF LELUHUR BESEMAH PAGARALAM

Huruf Ulu pada Cover Buku Satu Dasawarsa Pembangunan Kota Pagar Alam 



Jika kita pertama kali melihat huruf ulu, mungkin dari kita yang pernah ikut pramuka, huruf ini merip dengan sandi duri, miring-miring lancip-lancip (perasaan beda jauh ya). Huruf ulu atau disebut aksaran kaganga telah ada di Pagaralam sejak dahulu kala. Disebut huruf ulu karena konon berasal masyarakat dari daerah hulu Sungai Musi. Aksara kaganga yang awalnya berkembang di Curup sering pula disebut aksara ulu. Aksara ini lalu menyebar ke daerah-daerah yang dilalui aliran Sungai Musi. Aksara yang berkembang di masyarakat Sumatera bagian selatan yang terdiri atas 19 huruf tunggal dan 8 huruf pasangan. Nama kaganga merujuk pada tiga aksara pertama pada urutan 28 huruf, yaitu ka, ga, nga, dan seterusnya. Penulisan huruf ini sangat unik. Aksaran kaganga ditulis dengan cara ditarik ke kanan atas dengan kemiringan sekitar 45 derajat. 
Berdasarkan dokumen Eropa, aksara ulu diperkirakan berkembang pesat di Sumatera bagian selatan pada abad ke-16-17 Masehi sebagai perkembangan dari aksara palawa dan kawi. Aksara kaganga sendiri banyak berkembang di Sumatera dan Sulawesi. Itu menandakan aksara kaganga berkerabat dengan aksara Batak dan Bugis. Sementara wilayah di luar Sumatera dan Sulawesi, seperti Bali dan Jawa, menggunakan aksara hanacaraka. Karena mobilitas hulu hilir Sungai Musi, berasal dari berbagai daerah, seperti hampir seluruh masyarakat, seperti di Sumatera Selatan seperti di Pasemah, Lintang, Pagaralam, Ogan, hingga Komering, mengenal aksara tersebut. Di Rejang, Lebong, Curup, Kepahiang, Lembak, Seluma, Serawai, serta di Lampung dan Penyebaran aksara kaganga diperkirakan berhenti pada awal abad ke-20.
Aksara kaganga biasanya ditulis di atas bahan kulit kayu atau kakhas dan gelondongan bambu. Naskah kuno juga ditemukan ditulis di atas bahan rotan, kulit hewan, atau lontar.  Di surat ulu masyarakat mengungkapkan banyak hal. Di antaranya seperti silsilah keluarga, mantra-mantra, pengobatan, tuah untuk ayam sebelum disabung, ramalan tentang nasib dan sifat manusia, hingga ajaran agama Islam, hukum adat, ataupun rukun haji.
Aksara kaganga ditulis berdasarkan bahasa daerah itu sendiri, misalnya naskah berbahasa Pasemah beraksara Kagaranga. Kurator Museum Negeri Sumsel, Rapanie Igama, yang sejak tahun 1995 meneliti surat ulu di seluruh Sumsel, mengutarakan, ratusan surat ulu sampai sekarang masih tersimpan di rumah warga. Sejumlah surat ulu di Sumsel berada di Pagaralam, Lahat, dan Muara Enim. 
Hanya saja, penyimpanan itu tidak disertai teknik penyimpanan yang tepat sehingga dikhawatirkan rusak karena lembab. Surat ulu biasanya diwariskan secara turun-temurun dari kepala marga (pesirah) kepada anak cucunya.
Menurut Rapanie, karena surat ulu itu diturunkan, pewaris surat ulu cenderung mengeramatkannya. Kondisi ini menyebabkan keberadaan surat ulu semakin terancam. Cara berpikir masyarakat yang tidak logis ikut menyebabkan kehancuran warisan budaya nenek moyang. ”Mereka menganggap surat ulu sebagai benda pusaka. Untuk membukanya saja harus menyembelih ayam atau kambing. Bahkan, ada surat ulu yang tidak boleh difoto dan dibaca karena ditakutkan nanti seluruh desa terbakar,” kata Rapanie. Salah satu surat ulu di Desa Padang Bulan, Lahat, yang pernah dibaca Rapanie berisi tentang strategi perang melawan Belanda. Tidak heran pewaris ketakutan kalau surat ulu tersebut dibaca. ”Mungkin dia mendapat wasiat bahwa surat ulu itu tidak boleh dibaca siapa pun,” katanya. Selain karena disimpan sembarangan, tidak banyak orang yang bisa membaca sekaligus bisa mengartikan aksara kaganga. Umumnya hanya sebatas membaca dan menulis. Aksara Kaganga diperkirakan berkembang dari aksara Pallawa dan aksara Kawi yang digunakan oleh kerajaan Sriwijaya di Sumatra Selatan

Helena F Nababan dan Agus Mulyadi 
Sumber: http://cetak.kompas.com dan Buku Satu Dasawarsa Pembangunan Kota Pagar Alam

4 comments: