HURUF
ULU (AKSARA KAGANGA), HURUF LELUHUR BESEMAH PAGARALAM
Jika kita pertama kali melihat huruf ulu,
mungkin dari kita yang pernah ikut pramuka, huruf ini merip dengan sandi duri,
miring-miring lancip-lancip (perasaan beda jauh ya). Huruf ulu atau disebut
aksaran kaganga telah ada di Pagaralam sejak dahulu kala. Disebut huruf ulu
karena konon berasal masyarakat dari daerah hulu Sungai Musi. Aksara kaganga
yang awalnya berkembang di Curup sering pula disebut aksara ulu. Aksara ini
lalu menyebar ke daerah-daerah yang dilalui aliran Sungai Musi. Aksara
yang berkembang di masyarakat Sumatera bagian selatan yang terdiri atas 19
huruf tunggal dan 8 huruf pasangan. Nama kaganga merujuk pada tiga aksara
pertama pada urutan 28 huruf, yaitu ka, ga, nga, dan seterusnya. Penulisan
huruf ini sangat unik. Aksaran kaganga ditulis
dengan cara ditarik ke kanan atas dengan kemiringan sekitar 45 derajat.
Berdasarkan dokumen Eropa, aksara ulu
diperkirakan berkembang pesat di Sumatera bagian selatan pada abad ke-16-17
Masehi sebagai perkembangan dari aksara palawa dan kawi. Aksara kaganga sendiri
banyak berkembang di Sumatera dan Sulawesi. Itu menandakan aksara kaganga
berkerabat dengan aksara Batak dan Bugis. Sementara wilayah di luar Sumatera
dan Sulawesi, seperti Bali dan Jawa, menggunakan aksara hanacaraka. Karena
mobilitas hulu hilir Sungai Musi, berasal dari berbagai daerah, seperti hampir
seluruh masyarakat, seperti di Sumatera Selatan seperti di Pasemah, Lintang,
Pagaralam, Ogan, hingga Komering, mengenal aksara tersebut. Di Rejang, Lebong,
Curup, Kepahiang, Lembak, Seluma, Serawai, serta di Lampung dan Penyebaran
aksara kaganga diperkirakan berhenti pada awal abad ke-20.
Aksara kaganga biasanya ditulis di atas bahan
kulit kayu atau kakhas dan gelondongan bambu. Naskah kuno juga ditemukan
ditulis di atas bahan rotan, kulit hewan, atau lontar.
Di surat ulu masyarakat mengungkapkan banyak hal. Di antaranya seperti
silsilah keluarga, mantra-mantra, pengobatan, tuah untuk ayam sebelum disabung,
ramalan tentang nasib dan sifat manusia, hingga ajaran agama Islam, hukum adat,
ataupun rukun haji.
Aksara kaganga ditulis berdasarkan bahasa
daerah itu sendiri, misalnya naskah berbahasa Pasemah beraksara Kagaranga. Kurator
Museum Negeri Sumsel, Rapanie Igama, yang sejak tahun 1995 meneliti surat ulu
di seluruh Sumsel, mengutarakan, ratusan surat ulu sampai sekarang masih
tersimpan di rumah warga. Sejumlah surat ulu di Sumsel berada di Pagaralam,
Lahat, dan Muara Enim.
Hanya saja, penyimpanan itu tidak disertai
teknik penyimpanan yang tepat sehingga dikhawatirkan rusak karena lembab. Surat
ulu biasanya diwariskan secara turun-temurun dari kepala marga (pesirah) kepada
anak cucunya.
Menurut Rapanie, karena surat ulu itu
diturunkan, pewaris surat ulu cenderung mengeramatkannya. Kondisi ini
menyebabkan keberadaan surat ulu semakin terancam. Cara berpikir masyarakat
yang tidak logis ikut menyebabkan kehancuran warisan budaya nenek moyang. ”Mereka
menganggap surat ulu sebagai benda pusaka. Untuk membukanya saja harus
menyembelih ayam atau kambing. Bahkan, ada surat ulu yang tidak boleh difoto
dan dibaca karena ditakutkan nanti seluruh desa terbakar,” kata Rapanie. Salah
satu surat ulu di Desa Padang Bulan, Lahat, yang pernah dibaca Rapanie berisi
tentang strategi perang melawan Belanda. Tidak heran pewaris ketakutan kalau
surat ulu tersebut dibaca. ”Mungkin dia mendapat wasiat bahwa surat ulu itu
tidak boleh dibaca siapa pun,” katanya. Selain
karena disimpan sembarangan, tidak banyak orang yang bisa membaca sekaligus
bisa mengartikan aksara kaganga. Umumnya hanya sebatas membaca dan menulis. Aksara Kaganga diperkirakan berkembang dari
aksara Pallawa dan aksara Kawi yang digunakan oleh kerajaan Sriwijaya di
Sumatra Selatan
Helena F Nababan dan Agus Mulyadi
Sumber: http://cetak.kompas.com dan Buku Satu Dasawarsa Pembangunan Kota Pagar Alam
min cb tulis nm q pake huruf ulu
ReplyDeleteminta link sumber asli ny dong..
ReplyDeleteini kompas terbitan kapan ya ??
ReplyDeleteMuhammad fakih
ReplyDelete