Selamat Datang di Bumi Jagad Besemah

11 July, 2011

Kesuraman Kopi Pagaralam

Ada beberapa faktor yang menyebabkan suramnya kopi Pagar Alam seperti kurangnya pengetahuan dan kemampuan petani, minimnya ketersediaan dan penggunaan sarana produksi, masih rendahnya usaha peningkatan diversifikasi tanaman dan produklemahnya akses modal dan informasi, belum adanya spesifikasi jenis biji kopi, harga kopi relatif rendah, Semakin menurunnya luas areal perkebunan kopi karena konversi lahan, dan rendahnya akses pemasaran.
Budidaya tanaman kopi di Kota Pagar Alam memang sudah berlangsung lama. Belanda merupakan pelopor budidaya tanaman kopi di Kota Pagar Alam. Selama dikelola Belanda budidaya kopi dilakukan secara ketat untuk menjaga kuantitas dan kualitas kopi yang dihasilkan, kopi Pagar Alam merupakan salahsatu sumber pendapatan Belanda dan juga sebagai upeti bagi Ratu Belanda. Setelah berakhirnya masa penjajahan Belanda, perkebunan yang dikelola belanda diambil alih oleh masyarakat. Tahun demi tahun banyak bermunculan perkebunan kopi di Kota Pagar Alam.
Sebenarnya, tidak semua lahan di Pagar Alam cocok untuk kopi. Ada lahan-lahan yang cenderung dipaksa dengan tanaman kopi hanya karena mengejar untung. Hal ini disebabkan karena petani kopi pernah mengalami masa kejayaan di sekitar tahun 1987-an. Meskipun sudah secara turun temurun membudidayakan tanaman kopi, pengetahuan dan kemampuan petani dalam usahatani kopi masih kurang (Pemerintah Kota Pagar Alam, 2005).
Di Pagar Alam ketersediaan dan penggunaan sarana produksi masih kurang. Bibit yang dipakai kurang menjamin, bahkan petani sembarangan membeli kepada pihak-pihak penjual bibit yang tidak bersertifikat. Dalam usahataninya petani jarang melakukan pemupukan, jikalau ada pupuk anorganik (pupuk kimia) saja yang mereka berikan ke tanaman kopi. Petani masih awam dengan pupuk majemuk dan pupuk organik. Akibat terlalu banyak penggunaan pupuk anorganik banyak tanah menjadi jenuh. Dalam pemeliharaan tanaman kopi, petani jarang membersihkan lahan dan mengendalikan OPT (organisme penggangu tanaman) dengan baik. Pembersihan gulma sering dilakukan menjelang panen saja dan hal itu menggunakan bahan bahan kimia, seperti herbisida. Dalam mengendalikan hama, petani sebagian besar hanya menggunakan pestisida kimia atau lebih dikenal dengan istilah “ racun”, seperti racun semut, racun belalang dan racun upas, semuanya berbahan kimia sintetis yang kurang aman untuk lingkungan. Petani hanya sedikit memiliki pengetahuan tentang jenis bahan pengendali hama bahkan ada yang salah dalam penggunaannya. Banyaknya penggunaan bahan kimia sintetis membuat biji kopi yang dihasilkan mengandung residu bahan kimia yang cukup tinggi. Yang lebih memprihatinkan sejak harga kopi anjlok banyak kebun kopi yang telah menjadi semak belukar, namun ada pula yang mengonversi tanaman kopi dengan komoditi lain yaitu tanaman cabe (Pagar Alam Post, 2011a).
Akibat faktor ekonomi dan faktor musim panen kopi membutuhkan waktu yang lama, serta adanya kekhawatiran produksi kopi akan terus berkurang. Banyak petani yang pergi merantau untuk mencari pekerjaan lain di luar Kota Pagar Alam dan apabila waktu panen kopi tiba mereka kembali ke Pagar Alam dengan harapan usahatani kopi mereka berhasil. Fenomena menunjukkan tingkat pemeliharaan kopi di Pagar Alam masih sangat kecil, disaat tanaman kopi membutuhkan pemeliharaan intensif supaya pertumbuhan dan perkembangannya baik, dalam arti lain menghasilkan kopi yang baik petani malah pergi. Hal ini mempengaruhi penurunan kualitas kopi Pagar Alam (Pagar Alam Post, 2011b).
Untuk mengatasi harga kopi yang fluktuatif, pemerintah menganjurkan untuk melakukan diversifikasi tanaman. Petani di Pagar Alam sudah banyak yang mencoba melakukan diversifikasi tanaman dengan menanam lada, panili dan karet. Namun karena pengetahuan dan ketrampilan petani yang masih kurang, diversifikasi tersebut kurang berhasil, petani lebih cenderung menanam saja. Perihal pemeliharaan tanaman masih kurang dilakukan. Hal ini dapat dilihat dari kenampakan fisik tanaman dan produktivitasnya.
Menurut Indriasari (2008) dalam Kustiari (2007) menyatakan bahwa untuk membangun dan meningkatkan keragaaan kopi Indonesia perlu diperhatikan berbagai faktor, antara lain harga yang mempunyai peran sangat dominan. Harga kopi ini sangat berpengaruh di dalam mendorong perluasan areal kopi, suplai kopi, ekspor kopi harga dan konsumsi domestik. Sementara itu, harga kopi di Indonesia lebih ditentukan harga kopi dunia yang merupakan variabel eksogenus. Oleh karena itu, kebijakan kopi di Indonesia diarahkan untuk dapat mengantisipasi gejolak harga kopi dunia untuk dimanfaatkan semaksimal mungkin guna meningkatkan keragaan kopi Indonesia.
Di waktu musim panen, petani memanen buah kopi yang masih hijau atau muda. Kriteria petik mereka adalah dengan menggigit salah satu buah kopi pada dompolan buah jika buah sudah keras artinya sudah layak untuk dipetik. Hal ini dilakukan agar pemetikan tidak perlu berulang kali (supaya cepat selesai) dan menghindari pencurian buah kopi dikebun. Pemetikan buah kopi seperti ini membuat kualitas biji kopi yang dihasilkan buruk. Apalagi ketika dompolan memiliki banyak buah kopi dan didominasi buah yang sudah matang (merah), petani memetik dengan cara “meghughus” yaitu dengan menarik dompolan dari atas ke bawah yang membuat seluruh buah kopi terpetik semua tanpa melalui seleksi. Cara ini bahkan dapat membuat cabang menjadi rusak.
Setelah buah kopi dipetik secara keseluruhan, kesalahan kembali terjadi. Petani menjemur kopi di jalan-jalan sehingga buah kopi rusak akibat dilindas kendaraan atau hilang karena terpental ketika dilindas kendaraan. Penjemuran seperti ini membuat kuantitas buah kopi berkurang dan bentuk biji kopi tidak lagi bagus (pecah). Setelah buah kopi dirasa sudah kering, buah kopi dapat digiling dan dijual, pada waktu penjualan ada juga petani nakal yang memasukkan benda lain (selain biji kopi kering) supaya dapat menambah timbangan kopi, misalnya dedak (kulit) kopi. Sebagian petani tidak memperhatikan kadar air pada kopi saat penjemuran. Petani lebih suka menjual kopi yang masih basah agar lebih berat pada saat ditimbang. Padahal harga kopi yang sudah kering (kadar air 13 %) kualitasnya lebih baik dengan harga jual yang lebih tinggi. Untuk mengatasi hal ini, pedagang pengumpul menguji biji kopi yang diperoleh dari petani yang dilakukan secara manual atau dengan alat. Karena kadar air biji kopi yang beragam pedagang pengumpul kembali menjemur kopi yang dibelinya dari petani kopi.
Banyaknya pedagang pengumpul menyebabkan tingkat harga biji kopi beragam . Harga kopi saat ini di Pagar Alam yang turun dinilai sangat wajar. Hal ini dikarenakan kopi dari petani sebelum diekspor harus melewati beberapa rantai agen. Mulai dari agen kecil, agen besar, agen induk dan terkahir eksportir. Jadi pihaknya tidak menyalahkan kalau harga kopi ditingkat agen beragam (Pagar Alam Post, 2009)
Perbedaan tingkat harga ini menuntut pemerintah untuk menyetabilkan harga di tingkat pedagang supaya petani kopi tidak merasa dirugikan. Selain perbedaan tingkat harga, petani kurang memiliki informasi harga kopi, mereka hanya menerima harga yang diberikan pedagang pengumpul apalagi kalau petani membutuhkan uang secara cepat berapapun harga yang diberikan petani terpaksa menerima. Sebenarnya di Pagar Alam terdapat pula kopi jenis arabika yang harganya bisa dua kali lipat harga kopi robusta. Namun karena kurangnya pengetahuan petani akan jenis dan harga kopi arabika serta di tingkat pedagang pengumpul tidak ada spesifikasi jenis kopi sehingga harga biji kopi arabika disamakan dengan harga biji kopi robusta.
Harga biji kopi Pagar Alam tergolong rendah, hal ini disebabkan kualitas biji kopi yang dihasilkan umumnya rendah dan posisi kopi Indonesia dibawah kopi Vietnam sehingga pembeli (eksportir) luar negeri lebih memilih kopi Vietnam. Penurunan ini dikarenakan budidaya kopi yang kurang baik, misalnya petik muda, pengolahan pascapanen dan panen yang tidak baik membuat mutu kopi rendah sehingga dihargai murah. Kualitas kopi asal Pagar Alam dirasakan kurang bagus karena sebagian di antaranya terlebih dahulu dilindas kendaraan saat dijemur di jalan. Itu sebabnya kopi Indonesia kalah bersaing dengan kopi Brasil dan Vietnam yang tidak perlu dilindas-lindas roda kendaraan terlebih dahulu.
Meskipun demikian, terdapat pula kopi Pagar Alam yang memiliki kualitas tinggi namun adanya pedagang nakal yang mencampur kopi Pagar Alam berkualitas tinggi dengan kopi dari daerah lain semakin menenggelamkan citra kopi Pagar Alam (Iskandar, 2011).
Meskipun budidaya kopi di Kota Pagar Alam sudah turun temurun mulai dari zaman penjajahan Belanda kopi Pagar Alam masih kurang dikenal. Hal ini bisa disebabkan oleh hilangnya identitas kopi Pagar Alam ketika dijual pedagang pengumpul ke Provinsi lampung. Pilihan ekspor melalui Lampung karena oleh adanya jaminan kapal yang akan mengangkut kopi di daerah tersebut dibandingkan di pelabuhan Bom Baru Palembang, Sumatera Selatan. Pembeli bisa menentukan sendiri jenis kapal yang akan mengangkut kopi ke negara tujuan melalui Pelabuhan Panjang. Jarak Pagar Alam-Lampung sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan jarak Pagar Alam-Palembang namun jaminan ketersediaan kapal di pelabuhan Panjang lebih baik dibandingkan Pelabuhan Bom Baru. Hal tersebut membuat Lampung dibanjiri pedagang pengumpul dan eksportir. Selain itu, banyaknya pungutan liar di sepanjang jalan Pagar Alam-Palembang membuat pedagang pengumpul memilih alternatif penjualan yaitu ke daerah Lampung. Ekspor kopi melalui Lampung membuat nilai ekspor dari daerah ini lebih dikenal. Di pelabuhan Lampung, daerah asal kopi menjadi kabur sehingga identitas kopi sulit diketahui. Hal inilah yang membuat kopi Pagar Alam kurang dikenal (Manggadermayu, 2008).

No comments:

Post a Comment