Selamat Datang di Bumi Jagad Besemah

11 July, 2011

Tantangan Pengembangan Pariwisata di Kota Pagar Alam

Tantangan Pengembangan Pariwisata di Kota Pagar Alam
Dalam mengembangkan program pariwisata, Pemerintah Kota Pagar Alam dihadapkan oleh beberapa kendala yang menghambat proses realisasi program-program yang ada. Faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1. minimnya akses transportasi dan lokasi wisata yang tersebar di berbagai wilayah sehingga sulit untuk dicapai.
2. kurangnya akses informasi mengenai lokasi wisata di Kota Pagar Alam.
3. minimnya tenaga profesional dalam pengelolaan potensi pariwisata.
4. kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap potensi pariwisata di Kota Pagar Alam.
Salah satu tantangan sektor pariwisata Kota Pagar Alam adalah keterbatasan sarana transportasi. Sebagai contoh, perjalanan dari Kota Palembang sebagai ibukota Provinsi Sumsel menuju Pagar Alam harus ditempuh dengan menggunakan kendaraan angkutan umum, berupa bus Angkutan Kota Antar Provinsi (AKAP) atau Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP) yang memakan waktu sekitar tujuh jam. Jika menggunakan pesawat terbang hanya membutuhkan waktu sekitar 45 menit. Alasan inilah yang membuat Pagar Alam membangun lapangan terbang. Peningkatan jumlah pengunjung tentu akan sangat menguntungkan (Pertiwi, 2010).
Panorama alam, patung-patung besar, danau, air terjun, dan rumah-rumah tradisional Besemah merupakan potensi pariwisata yang strategis. Keberadaan potensi wisata ini tersebar di berbagai daerah, seperti di dalam hutan, di tepi sungai, perkampungan penduduk, kebun, sawah dan perbukitan sehingga sulit untuk dikunjungi (Besemah Pagar Alam, 2010f).
Informasi yang minim membuat wisatawan kurang mengetahui objek wisata yang terdapat di Pagar Alam sebagai bahan pertimbangan melakukan kunjungan. Di lapangan pengelolaan peninggalan pariwisata belum profesional dan cenderung kurang terurus.
Data mengenai batu megalitik dan arca yang merupakan benda bersejarah di Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan, masih belum lengkap sehingga pemerintah setempat kesulitan menginventarisasikannya. Belum adanya laporan resmi dan konkret dari warga yang menemukan situs megalitik tersebut membuat pemerintah kesulitan mendata lokasi termasuk jumlah benda prasejarah tersebut. Mengingat begitu banyaknya situs megalitik di Pagar Alam baik yang sudah terdata maupun baru ditemukan, pihaknya akan melakukan kerjasama dengan warga untuk pendataan khususnya terhadap penemuan baru. Mengingat Pagar Alam ini akan dijadikan kawasan cagar budaya, maka perlu dilakukan pendataan secara detail dan lengkap mengenai jumlah situs dan lokasinya. Oleh karena itu, sebelum kota ini dijadikan sebagai kawasan cagar budaya, tentunya harus memiliki data lengkap tentang jumlah dan lokasi situs serta megalit yang ada di Pagar Alam (Baharman, 2010).
Penemuan benda arkeologi di Dempo Tengah, Dempo Selatan, dan Dempo Utara tidak ditanggapi cepat oleh Pemerintah Kota Pagar Alam. Keterbatasan sarana penelitian menjadi penghambat bagi pemerintah kota untuk menganalisa temuan-temuan yang ada. Hal ini disebabkan karena Pemerintah Kota Pagar Alam belum memiliki lembaga atau instansi yang menguasai pengurusan benda arkeologi dan cagar budaya, seperti kantor perwakilan BP3, museum atau pos arkeolog. Keberadaan benda-benda temuan warga selama ini sering kali tidak terjaga dengan baik karena kurangnya pemahaman warga tentang nilai luhur budaya peninggalan masa lalu, padahal semua benda tersebut merupakan aset yang tidak ternilai bagi Pagar Alam. Dengan adanya lembaga-lembaga tersebut esensi yang paling dibutuhkan yaitu adanya SDM peneliti dan pengelola yang profesional dalam menangani benda arkeologi dan cagar budaya yang merupakan sisa peninggalan masa lampau (Suara Nusantara, 2011).
Megalit banyak ditemukan di Kota Pagar Alam. Namun, penemuan tersebut jarang sekali dilaporkan kepada pihak terkait untuk dilestarikan dan dirawat. Ada kecenderungan masyarakat memilih diam. Beberapa ada juga yang sengaja menimbun batu-batu bersejarah itu agar tidak diketahui pihak pemerintah. Alasannya sederhana, karena warga khawatir jika nanti lahan miliknya diminta pihak pemerintah untuk dihibahkan. Sedangkan lahan pertanian tersebut merupakan satu-satunya sumber mata pencaharian keluarga (Sripo, 2010).

No comments:

Post a Comment